Malaria

sumber gambar: https://www.indexoncensorship.org/wp-content/uploads/2012/09/malaria-mosquito-picture-courtesy-J.-Gathany.jpg

 

 

Definisi

Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium ditandai dengan demam, anemia, dan splenomegali.

 

Etiologi

Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri dari 4 spesies, Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Malaria juga melibatkan hospes perantara yaitu manusia maupun vertebra lainnya, dan hospes definitif yaitu nyamuk Anopheles.

 

Patogenesis

Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebra termasuk manusia.

 a. Fase aseksual
Fase aseksual terbagi atas fase jaringan dan fase eritrosit. Pada fase jaringan, sporozoit masuk dalam aliran darah ke sel hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut skizogoni praeritrosit. Lama fase ini berbeda untuk tiap fase. Pada akhir fase ini, skizon pecah dan merozoit keluar dan masuk aliran darah, disebut sporulasi. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati sehingga dapat mengakibatkan relaps jangka panjang dan rekurens. Fase eritrosit dimulai dan merozoit dalam darah menyerang eritrosit membentuk trofozoit. Proses berlanjut menjadi trofozoit-skizon-merozoit. Setelah 2-3 generasi merozoit dibentuk, sebagian merozoit berubah menjadi bentuk seksual. Masa antara permulaan infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah tepi adalah masa prapaten, sedangkan masa tunas/inkubasi dimulai dari masuknya sporozoit dalam badan hospes sampai timbulnya gejala klinis demam.

b. Fase seksual
Parasit seksual masuk dalam lambung betina nyamuk. Bentuk ini mengalami pematangan menjadi mikro dan makrogametosit dan terjadilah pembuahan yang disebut zigot (ookinet). Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk dan menjadi ookista. Bila ookista pecah, ribuan sporozoit dan mencapai kelenjar liur nyamuk.

Patogenesis malaria ada 2 cara:

1. Alami, melalui gigitan nyamuk ke tubuh manusia.
2. Induksi, jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia melalui transfusi, suntikan, atau pada bayi baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (kongenital).

Manifestasi Klinis

Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat bepergian ke daerah endemik malaria. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:

1. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi). Pada malaria tertiana (P. vivax dan P. ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedang malaria kuartana (P. malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa serangan demam periodik. Demam khas malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu menggigil (15 menit – 1 jam), puncak demam (2 – 6 jam), dan berkeringat (2 – 4 jam). Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit dalam tubuh dan ada respons imun.

2. Splenomegali
Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat yang bertambah.

3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena P. falciparum. Anemia disebabkan oleh:
a. penghancuran eritrosit yang berlebihan
b. eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time)
c. gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang (diseritropoesis).

4. Ikterus
Ikterus disebabkan karena hemolisis dan gangguan hepar.

Malaria laten adalah masa pasien di luar masa serangan demam. Periode ini terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.

Relaps dapat bersifat:
1. Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
2. Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan berkembang-biak.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi, pembuatan preparat darah tebal dan tipis dilakukan untuk melihat keberadaan parasit dalam darah tepi, seperti trofozoit yang berbentuk cincin.

Penatalaksanaan
Obat antimalaria terdiri dari 5 jenis, antara lain:
1. Skizontisid jaringan primer yang membasmi parasit praeritrosit, yaitu proguanil, pirimetamin.
2. Skizontisid jaringan sekunder yang membasmi parasit eksoeritrosit, yaitu primakuin.
3. Skizontisid darah yang membasmi parasit fase eritrosit, yaitu kina, klorokuin, dan amodiakuin.
4. Gametosid yang menghancurkan bentuk seksual. Primakuin adalah gametosid yang ampuh bagi keempat spesies. Gametosid untuk P. vivax, P. malariae, P. ovale adalah kina, klorokuin, dan amodiakuin.
5. Sporontosid mencegah gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles, yaitu primakuin dan proguanil.

 Penggunaan obat antimalaria tidak terbatas pada pengobatan kuratif saja tetapi juga termasuk:

1. Pengobatan pencegahan (profilaksis) bertujuan mencegah terjadinya infeksi atau timbulnya gejala klinis atau timbulnya gejala klinis. Penyembuhan dapat diperoleh dengan pemberian terapi jenis ini pada infeksi malaria oleb P. falciparum karena parasit ini tidak mempunyai fase eksoeritrosit.

2. Pengobatan kuratif dapat dilakukan dengan obat malaria jenis skizontisid.
3. Pencegahan transmisi bermanfaat untuk mencegah infeksi pada nyamuk atau mempengaruhi sporogonik nyamuk. Obat antimalaria yang dapat digunakan seperti jenis gametosid atau sporontosid.

 Resistensi P. falciparum terhadap Obat Malaria
Resistensi P. falciparum terdapat obal malaria golongan aminokuinolin (klorokuin dan aminodiakuin) untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1960-1961 di Kolumbia dan Brazil. Kemudian ditemukan secara berturut-turut di Asia Tenggara yaitu di Muangthai, Malaysia, Kamboja, Laos, Vietnam dan Filipina. Di Indonesia ditemukan di Kalimantan Timur (1974), Jawa Tengah (Jepara, 1981), dan Jawa Barat (1991). Fokus resistensi tidak mencakup seluruh daerah, parasit masih sensitif di beberapa tempat di daerah tersebut. Resistensi obat malaria dipikirkan bila kasus malaria falsiparum tidak sembuh setelah diobati dengan dosis standar atau bila rekrudesensi timbul segera setelah parasit menghilang untuk sementara waktu setelah pengobatan.

 Bila resistensi P. falciparum terhadap klorokuin sudah dapat dipastikan, obat antimalaria lain dapat diberikan, antara lain:
1. Kombinasi sulfadoksin 1.000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis tunggal sebanyak 2-3 tablet.
2. Kina 3 x 650 mg selama 7 hari.
3. Antibiotik seperti tetrasiklin 4 x 250 mg/hari selama 7- 10 hari, dan minosiklin 2 x 100 mg/hari selama 7 hari.
4. Kombinasi-kombinasi lain seperti kina dan tetrasiklin.

Malaria Berat
Kasus malaria terbanyak adalah malaria falsiparum fatal yang memperlihatkan keterlibatan susunan saraf pusat

Organ yang terkena adalah:
1. Otak: timbul delirium, disorientasi, stupor, koma, kejang, dan tanda neurologis fokal.
2. Saluran gastrointestinal: muntah, diare hebat, perdarahan dan malabsorpsi.
3. Ginjal: nekrosis tubular akut, hemoglobinuria, dan gagal ginjal akut.
4. Hati: timbul ikterus karena adanya gangguan hepar, billous remittent fever ditandai dengan muntah hijau empedu karena komplikasi hepar
5. Paru: Edema paru
6. Lain-lain: anemia, malaria hiperpireksia, hipoglikemia, demam kencing hitam (black water fever).

Penatataksanaan

Penatalaksanaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu bersifat umum dan spesifik.

A. Pengobatan umum.

1. Syok dengan hipovolemia.
Bila pasien mengalami renjatan, pemberian cairan sebagai berikut:
o Satu jam pertama: 30 ml/kg BB/jam, dilanjutkan untuk 23 jam berikutnya 20 ml/kg BB/jam, dan tetes pemeliharaan 10 ml/kg BB/hari.
o Dilakukan pengawasan terhadap:
§ tekanan darah
§ volume urin harus > 400 ml/hari, sehingga cairan yang masuk dalam 24 jam pertama dapat melebihi jumlah urin yang dikeluarkan
§ kemungkinan terjadinya edema paru.
o Dapat juga dipakai plasma ekspander, misalnya 500 ml larutan dekstose 40% dalam campuran garam fisiologis dan glukosa (dapat menaikkan volume darah sampai 3 kali).

2. Hipertermia (suhu > 40oC)

o Ditolong dengan kompres dingin.
o Diperlukan tambahan cairan ± 400 ml/hari untuk mengimbangi cairan yang hilang melalui keringat.
o Awasi suhu pasien, sebaiknya secara rektal.

3. Transfusi darah
o Indikasinya:
§ Hemoglobin (Hb) < 6 g% atau
§ Hematokrit (Ht) < 18%
§ Jumlah eritrosit < 2 juta/mm3
o Transfusi diberikan untuk mempertahankan agar Hb > 8 g% dan Ht > 20%.
o Dilanjutkan dengan perbaikan gizi dan pemberian asam folat 5 mg selama 2-3 minggu.

4. Gejala serebral
a. Edema serebral
o Deksametason 10 mg iv, dapat diulang setiap 4-6 jam tergantung keadaan pasien, atau
o Hidrokortison suksinat 100-500 mg iv.
b. Kejang
o Diazepam 10-20 mg iv atau
o Klorpromazin 50-l00 mg iv dapat diulang setiap 4 jam.
o Penggunaan morfin merupakan kontraindikasi.

5. Gangguan fungsi ginjal
a. Gejala:
o Muntah-muntah.
o Ureum darah > 16 mmol/l.
o Urin < 400 ml/hari (oliguria). Bila terjadi nekrosis tubular, berat jenis urin menjadi < 1,010.

b. Lakukan pengamatan terhadap:
o Volume urin: pasien yang mengeluarkan urin < 200 ml dalam 16 jam pertama harus segera diberikan pertolongan untuk mengembalikan keseimbangan cairannya.
o Tekanan darah.
o Gejala-gejaia kekurangan natrium.
o Adanya gejala edema paru.

c. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit darah:
o 1.000 larutan garam fisiologis diberikan dalam satu jam.
o Bila volume urin menjadi > 20-30 ml/jam atau > 200 ml dalarn 8 jam pertama, maka oliguria telah teratasi.
o Teruskan pemberian larutan garam sampai keadaan umum menjadi baik dan jumlah urin mencapai 1.000 ml/hari.
o Pertahankan kalium plasma < 7 mmol/l.
o Bila telah terlihat adanya kekurangan natrium plasma sebelum timbul gangguan fungsi ginjal, dapat ditolong dengan pemberian 200 mmol natrium laktat lewat infus selama 3 jam.
o Bila terjadi asidosis sesudah gangguan fungsi ginjal, batasi pemasukan cairan karena penambahan natrium karbonat akan menarik cairan ekstraselular dengan kemungkinan terjadi kegagalan jantung.
o Batasi protein hingga 20-30 g/hari dan karbohidrat hingga 200 g/hari. Bila perlu pemberiannya melalui selang nasogastrik.
o Bila perlu, kebutuhan air dan karbohidrat dapat diberikan secara intravena dengan glukosa 10- 15%. Namun cara ini dapat menimbulkan trombosis pada pemberian setelah 6-10 jam terus-menerus.
o Bila semua cara di atas tidak berhasil, dapat dicoba untuk mengatasinya dengan dialisis, baik hemodialisis atau dialisis peritoneal.

6. Hipoglikemia (gula darah < 50 mg%).
a. Suntik 50 ml dekstrosa 40% iv dilanjutkan dengan infus dekstrosal 10%.
b. Pantau gula darah tiap 4-6 jam.
c. Bila gula darah berulang-ulang turun, pertimbangkan untuk memakai obat yang menekan produksi insulin, seperti glukagon, diazoksid, atau analog somatostatin.

B. Pengobatan spesifik

Jenis obat yang dipakai:
1. Kina: merupakan obat terpilih untuk malaria berat (life saving, bekerja cepat).
Cara pemberian: parenteral terutama bila telah timbul gejala koma, kejang, muntah, dan diare.

a. Infus: 500- 1.000 mg kina dihidroklorid/hidroklorid dalam 500 ml larutan garam fisiologis dan glukosa atau plasma atau dekstran. Lama pemberian 1-2 jam. Dalam 24 jam dapat diulang sampai dicapai dosis maksimal kina 2.000 mg.

b. Intravena: kina 200-500 mg dalam 20 ml larutan garam fisiologis dan glukosa. Lama pemberian tidak boleh lebih cepat dari 10 menit. Pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan penurunan tekanan darah yang mendadak dan aritmia jantung.

c. Intramuskular (im)

Larutan obat harus steril dan pH netral.
o Alat suntik harus benar-benar steril.
o Disuntik di daerah gluteal, 6-7,5 cm di bawah pertengahan krista iliaka.
o Jumlah trombosit > 20.000/mm3 untuk menghindarkan terjadinya hematoma.
o Dosis per kali maksimal 1.000 mg dengan dosis total 2.000 mg/24jam.
o Bila pasien dalam keadaan syok, pemberian kina im mungkin tidak dapat menolong, karena adanya gangguan absorpsi obat. 

Catatan:

Pada pasien yang berat, metabolisms kina menjadi lambat karena adanya gangguan fungsi hati. Untuk menghindari keracunan, kina mula-mula diberikan 10 mg/kg BB dengan interval optimum 12 jam kemudian menjadi 20-30 mg/kg BB bila perlu.

 

2. Klorokuin: memberi hasil sebaik kina pada P. falciparum yang sensitif.

Cara pemberian:
a. Intravena: dosis per kali (dewasa) 200-300 mg basa dalam larutan 4-5%.
b. Infus: cara seperti kina, dan diberikan dalam tetesan lambat.
c. Intramuskular: lebih disukai, karena tidak menyebabkan nekrosis, toleransi lebih baik, dan onsetnya sama seperti pemberian intravena. Dosis setiap kali (dewasa) 300-400 mg basa (10 ml dalam larutan 5%). Pemberian dapat diulang sampai maksimal 900 mg basa/24 jam. 

Catatan:

Pemberian secara parenteral harus segera diganti oral bila keadaan umum pasien telah lebih baik dan menelan obat

 

Tabel pengobatan malaria menurut Departemen Kesehatan RI

 

 

C. Pengobatan pada anak-anak

Pada dasarnya sama dengan pengobatan pada dewasa. Umumnya anak-anak lebih tahan terhadap kina, tetapi pemberian klorokuin im perlu dilakukan secara hati-hati.

 

Pada pasien dalam keadaan koma dan muntah hebat pengobatan enteral harus segera diberikan, meskipun pemberian obat per oral jauh lebih aman bagi anak-anak. Obat yang dapat diberikan adalah:

1. Kina

Cara pemberian:
a. Infus: 5-10 mg/kgBB dalam 20-30 ml garam fisiologis, diberikan selama 24 jam. Bila perlu diulang setelah 6-12 jam sampai maksimal 20 mg/kgBB/24jam.
b. Intramuskular: syarat pemberian sama dengan pada dewasa. Dosis tunggal maksimal: 15 mg/kg BB.

2. Klorokuin

Cara pemberian:
a. Intravena: dosis pertama 5 mg/kg BB dalam larutan isotonus 20 ml, disuntikkan selama 10-15 menit. Bila perlu dapat diulang setelah 6-8 jam. Suntikan sebaiknya diberikan separuh dosis dahulu dan sisanya diberikan selang 1-2 jam kemudian.
b. Infus: 7 mg basa/kg BB diberikan secara tetes terus menerus dalam 24 jam.
c. Intramuskular: dosis pertama maksimal 5 mg basa/kg BB dengan dosis total tidak lebih dari 10 mg/kg BB/24 jam. Sebaiknya dosis sunt